Rabu, 10 Juni 2020

Colosseum Tidak Hanya Ada di Roma



Signore Umberto adalah pemilik apartemen tempat kami bermalam di Roma. Ia memiliki beberapa kamar pada satu lantai serta menyewakannya pada pelancong. Memiliki satu lantai apartemen ditengah-tengah kota Roma pasti ia bukan orang biasa, tapi ia mengurus bisnisnya sendiri.

Dalam layani kami, ia berlaku tidak ubahnya pegawai hotel, serta salah satunya yang terhangat serta teramah. Ia menerangkan aturan-aturan di hotel, peranan perlengkapan di kamar, sarana apartemen yang bisa kami gunakan, serta mengenai tujuan wisata di Roma. Bicara serta sikapnya yang mencerminkan penghargaan serta penghormatan benar-benar terkesan di hati kami. Ditambah lagi sesudah ia menjelaskan, jika ada apa-apa, dimanapun serta kapanpun, silakan hubungi ia. Mendadak kami berasa memiliki saudara di Roma.

Pagi hari ini udara cerah, tapi masih diperlukan sweater untuk mencegah rasa dingin. Kami langkahkan kaki perlahan-lahan ke arah Colloseum sekalian nikmati udara fresh Roma.

Sesudah menjejaki jalan kecil, seperti instruksi yang dikasih pak Umberto tadi malam, kami berjumpa jalan besar, yang dari sana cuma memerlukan waktu beberapa waktu saja untuk sampai di Colloseum. Situasi tidak ramai demikian ramai di minggu pagi itu. Tidak lama mengambil langkah, bangunan yang kami incar sudah terlihat. Benar kata pak Umberto, cuma perlu waktu kurang dari 15 menit saja kami sudah datang di Colloseum.

Bangunan monumental ini terlihat sudah ringkih termakan umur, tapi 'hawa' keangkerannya masih berasa. Bagaimana tidak, entahlah berapakah ribu manusia serta binatang meregang nyawa dalam tempat ini. Dari sudut pandang manusia kekinian, mengadu manusia dengan manusia, manusia dengan hewan, serta hewan dengan hewan, adalah sikap yang tidak beradab. Namun, apa demikian sudut pandang manusia yang hidup dalam budaya Romawi di saat itu?

Colloseum ini direncanakan untuk memuat 50 ribu orang pemirsa, bermakna banyak warga yang turut melihat atraksi yang dipandang warga modern tidak berprikemanusiaan itu. Jangan-jangan di waktu itu, pertempuran gladiator adalah atraksi yang umum. Sama seperti dengan suku Maya yang mempertaruhkan manusia untuk Dewa mereka. Buat warga kekinian tentu dipandang tindakan yang jauh dari nilai-nilai kemanusiaan, tapi buat mereka satu keharusan yang perlu dikerjakan.

Etika budaya rupanya tidak sama antar waktu sekalinya pada suatu daerah. Ini memperlihatkan jika budaya berbentuk dinamis, yang alami perkembangan dari sekian waktu sebab tiap generasi memasukkan nilai-nilai baru pada suatu budaya. Budaya tidak kaku, tapi menyesuaikan dengan perolehan manusia. Aksi manusia memang dikuasai budaya, tapi budaya juga dikuasai oleh manusia. Beberapa orang Italia saat ini pasti tidak membetulkan sikap nenek moyangnya yang membuat pertempuran sampai mati itu.

Tahapan Memilih Situs Bola Online Terpercaya

Lihat manusia kekinian yang tidak bisa terima pembunuhan untuk sisi dari budaya, memperlihatkan jika dengan cara perlahan, dari satu generasi ke generasi selanjutnya, manusia makin ke arah pada hati nuraninya. Dalam diri tiap manusia tersimpan sinar kasih sayang, simpati serta empati. Nurani manusia penuh dorongan untuk membantu, serta keinginan meraih kedamaian.

Sekalinya demikian, cukup banyak manusia yang tutup serta merusak hati nuraninya sendiri. Bangga menyakiti seseorang serta menebarkan kedengkian dimana saja. Mereka sebenarnya sudah jual hati nurani mereka pada harga yang murah. Semakin mengerikan lagi, riwayat menulis jika di dunia sempat ada manusia-manusia yang dapat menghajar manusia dengan jumlah yang tidak terhitung jumlahnya. Jika sebatas mendapatkan kekuasaan, mengapa harus mempertaruhkan beberapa ribu serta juta-an nyawa manusia?

Kemungkinan ada yang lain di otak mereka, hingga ia hidup dengan 'budaya' pribadinya. Mahluk semacam itu sampai ini hari masih ada. Karena itu persaingan perebutan kekuasaan berdarah serta perang terus berjalan.

Colloseum dilihat warga modern untuk tempat pembantaian manusia. Maka dari itu, Colloseum tidak bisa diterima oleh budaya warga modern. Faktanya, warga modern melihat pembantaian manusia di beberapa seluruh dunia. Ini berarti, warga modern tidak bisa terima Colloseum di Roma, tapi membuat banyak 'Colloseum' di beberapa tempat di dunia ini. Jadi, apa budaya kita memang tidak sama dengan budaya Romawi kuno? Atau hati nurani akan kalah dari kekerasan?

Mendadak muka pak Umberto lewat di kepala. Ingat waktu ia siap membikinkan coklat hangat waktu kami mengobrol. Jika ia hidup di zaman Romawi Kuno, apa akan berperilaku semacam ini ? Hati nurani manusia sudah ada semenjak penciptaan manusia, tapi budaya adalah sisi penting yang mengatur hati nurani.

Kemungkinan itu sisi dari perjalanan evolusi manusia. Bentuk tubuh bisa saja telah jauh tidak sama dari simpanse, tetapi otak serta nurani jangan-jangan semakin lamban evolusinya. Jangan-jangan, otak serta nurani beberapa dari kita tidak alami evolusi hingga tidak berasa bersalah menghajar manusia lain.